Tuesday, January 27, 2009

Kembali Ke Relung, Palungan terdalam… “Cerut-marut Belantara Samudera mengikis Lubang Aral berkarang”


Perjalanan waktu menghabiskan masa separuh malam yang silam tidak menjadikannya alasan untuk tidak segera bergegas tuntas dari bias keinginan, rehatnya dari sepenuh hari ketika fajar memanjat dan berdiri hingga bergulirnya senja adalah perjuangan menitik ruang tanpa alih pengorbanan. Ini adalah kenyataan. Melesat dari malam, basah hujan adalah kisah, rintik titik adalah larik. Deru gemuruh iringan pemadam meletup-letupkan pijaran sinar tajam mengobarkan debaran hati berpandang entah berlari atau sekedar berpatroli dari derasnya kebasahan hari. Angin kencang makin memanjang pepohon tumbang, hati nan bimbang. Segera kah? Ingin beranjak lari, dari sepi menuai mimpi.

Mesin baja dalam raga sempat terhenti sejenak mati, darah mengalir menyusut beku melengkapi kedinginan namun tak sekaku. Bergetarnya rangka menumbuh suasana menjadi langka. Ini kebesaran, ketika hati kembali menanti. Esok pagi kan menepi menutup elegi kelam yang silam…

Perjalanan malam yang diduga lama ternyata luar biasa, telah menumbuhkan kembali citra-citra secepat kilat selewat tepat. Bayangkan! Awal yang baik ketika dua kereta berjalan dalam satu rel menelusuri jarak pandang yang semakin jelas, cepat dan tepat..entah di belakang masih ada atau tidak satuan warna dan rasa yang kembali mendatarkan suasana saat-saat penglihatan mulai berfatamorgana atau sekedar kembali melihat masa luka dan bahagia. Ini kewajaran Manusia. Malam semakin pagi, dia beranjak pergi ketika tadi terhenti walau mencaci. Kelak-kelok, lenggak-lenggok aroma menepi menepis hati memperhati hari. Terus berjalan menyusuri ladang pematang siang.. sesampainya di sana angin bertubi merasuk luka mencapai suka mengikis duka menggapai cita.

Dimulai dari aku lalu ke kamu, mungkin terlalu kaku untuk menjamu.
“ahh.. tetapi tak mengapa lah”. Memang ini arah ke depan tetap lurus walau berliku.

Kini sinar kembali meraba ketika sandaran lelumut tebing yang melembab semalaman tak terbias cahaya meski dingin masih terasa, sedikit saja wewangi malam namun menghilang semakin ter-entas, ditambah deburan mengikis tebing menghancurkan butiran menjadi pasir hingga terserap tertelan samudera. Ini aku, yang sedang melompat merambat bebatuan tebing, menggapai akar mencengkram erat. Sebenar sebelumnya sambil berjalan perhatian tentang kebasahan adalah hal utama, bagaimana menyeberangi itu tanpa keluh ataupun peluh.

“Hahaha.. sketsa masa lalu adalah pelajaran berharga untuk dijaga, bukan untuk kembali diraba atau dirasa”. Cukup itu saja!

Matahari berlanjut terang seperti kuning keputihan pertanda hari akan terus beranjak bukan turun tetapi naik, tepat pukul delapan batas diriku berada di atas. Di atas Karang penopang jurang. Pencapaian dari perjalanan mengamati malam hingga terbenamnya kelam ada di sini. Percikan-percikan samudera mendeburkan suka-cita untuk tidak kembali tapi berlari kejar-mengejar dekat-sejajar merambatkan butiran-butiran harapan yang semakin terhempas ketepian menyatu membentuk gumpalan. Ini keberkahan..

Suka ria anak periang dari ketinggi-kekejauhan berkerumun kadang berpencar berlari mengejar bulatan kadang melompat berputar bergoyang bagai selayang. Sisa tiupan angin menciptakan aroma aura pantai membawa sejulur pelepah jatuh terpangku. Usahnya sudah tiada, tenggelam tertelan ombak menuju ke pusaran terdalam dan memfosil digantikan kepadatan ruang yang terang tak lagi hampa namun terasa. Aku di sini berdiri di atas pijak tak ingin beranjak walau pernah terinjak. Potret masa sekarang diamatinya dengan kelembutan. Penerawangannya seperti mampu sampai titik kejauhan. Pandangan matanya adalah ketajaman. Dilihatnya hari kemarin dia tertawa tapi tak terbahak, tersenyum namun berseri mengingat se-lewat perjumpaan yang berkesan. "Dia tak mau berandai" Tingginya nyiur tak melebihi keindahannya walau berbaris di sepanjang pantai. Kelopak bunga berjatuh terhempas menaungi bibir-bibir tepian adalah kesejukan. Tebing-tebing permukaaan meski berlumut menambah kelembaman dan kelembutan. Ada berita dari dalam jiwanya.. Ada kecewa dari dalam hidupnya.. Ada keputus-asa’an dari dalam asanya.. Ada kehampaan dari dalam ruangnya..

“Ada baiknya seperti ada yang tiada, atau tak ada yang selalu ada” untuk pengingat lebih dari pembelajaran menuju satu pencitraan. Tentang rasa aman, nyaman.. semai dan damai..

Sore ini tepat sabtu malam sebelum lembayung turun menutup samudera, meski panas masih saja menikam. Ini keindahan ketika sinarnya merekahkan hari. Mesin-mesin baja dalam raga mulai menghidupkan suasana untuk kembali membawa, menyertai menuju persinggahan, tempat awal semula dilahir. Segala duka, luka ataupun lara. Cerita, cinta cita dan cipta adalah bahasa yang tak sekedar harus diraba namun lebih dalam terasa akan menjadi bisa-bisa kita untuk mematikan hidup yang haus siksa dan sengsara..

Cerut-marut belantara Samudera malah membuat kikisan-kikisan kecil dalam palungan di karang yang terpendam semakin terkelupas terentas dan terhempas hanyut berputar melayang terbawa gelombang hingga mengendap bersatu dengan di antaranya, yaitu tempat di mana sumber bebatuan api melebur, memanas namun tetap mendinginkan keadaan sekitar. Aralnya sudah tiada meskipun ada tetap kan terjaga, kini tinggal bagaimana mendera dan menghela. Ku pastikan ini benar arah terdepan, tegap lurus selalu terpatri merapat erat sampai tersemat.

Kali pertama tergapai asa.. kali terakhir menuai cita..


01/11/09
20-27-28/09/009
'The Inspiring of Karang Hawu Beach Movement'
dedicated to my Bird, my Flamingo...
Devi Triastuti