Thursday, March 24, 2016

Hati Sang Kerdil


Tak terdengar lagi suara lirih yang membuat
Hati menjadi satu dalam kecintaan
Tak terlihat lagi pandangan-pandangan fatamorgana
Merasuk hingga pelopak mata
Tak ter`elakan lagi dugaan di hujung keinginan

“Bicaralah …
Bicaralah, biar Tuhan menyentuhmu

“Aku tak bisa …Aku tak bisa …
Mata pelupuk, kerat urat penuh terbelalak

Bosanlah dunia lihat wajahku

“hadapilah …
Hadapilah saja kematianmu

Tak terasakan lagi tetesan embun suci di kegelapan
Mengalir bersama dosa, menyatukan kisah kertas
Di akhir halaman

Selamat jalan kedamaian …
Selamat jalan kehidupan …
Selamat datang kematian …

ferihusain
20 nov 2003

Tanah Sang Mendiang


Pekat teduhnya dalam himpitan
Terhisap aroma bebauan basah
Berserakan tulang-belulang baja
Nyaris keropos ditelan jaman
Dulu begitu wangi hamparan awan
Dari tempat yang busuk hingga ke suci
Tetapi musnah semua kharisma
Begitulah hingga matahari tak terlihat

“Sudahlah, itu tidak akan membuatmu tenang sampai nanti,
sampai tanah mulai mengering”

Jubah hitam jalan antara kerumunan angin
Yang nampak merah pukat bau sampah
Permukaannya tenang siap bungkam diam saja.
Berjuta semut menanti hidangan
Jubah putih lihat ke bawah, enggan berjalan
Memeluk jagad masukan pahala ke dalam guci

“Sudahlah, itu saja sudah cukup buatmu,
sampaikan saja salamku pada manusia”

ferihusain
2003

Seorang Lelaki di ujung Tonggak


Seorang Lelaki di ujung Tonggak
Ternyata keputihan adakala hitam Terbenam, terpuruk ke pelupuk paruh Makan hati, jantung empedu Tersangkut lilitan mengukuh-ukuh Ramai sekali di besar otak Sungguh sunyi di pinggir hati “Kemana sih ? cari kaitan tali Ujung dipegang tengah memutus Mata terpejam Tiga kali mengedip, meraba dirangkak Oh … ini dia jalan yang panjang Mengejar sayup sampai ke hulu Langit ketujuh lewati bulan Arah tertuju kemana pandang Kehitam kelam pasti `kan pulang Membawanya di kesemenanjungan
|2003