Thursday, November 4, 2010

Cerita Hari Esok...



Bukit kering jurang pemisah, rumput pinus hingga pucuk tandus menafaskan aroma sesak. Separit jalan berlumur dan berlumpur, semak-belukar duri pencakar hingga garis jejak-jejak para penjajak semakin sempit tak terinjak. Naungan rimbun tempat berteduh kini tertimbun ingin menggaduh. Ini adalah pertanda hari kemarin akan tertinggal.

“Aku adalah mereka yang terpincang dan terguncang, terbengkalai menjadi bangkai. Penobatanmu atas diriku tepat waktu! kau remukkan semua sampah dari sumpah yang serapah hingga kau hempaskan peluru dari haru dalam dadaku, ini citaku yang sudah jauh tertinggal menjadi debu yang kelabu.”

Doa-doa, munajat acapkali setiap saat terperanjat mengikuti detik yang menjentik. Lantunan kata dari asal-awal kebrengsekan, kebejatan hingga kemaksiatan hati mencoba memanipulasi kejahatan diatas kebaikkan adalah seorang yang tak Moralis. Alam sadar telah memudar, menyebar dan mencakar membutakan semua cita tentang jiwa yang tersiksa.

“Sudahlah, apakah engkau tahu ini tentang Pensyukuran? Atas satu nikmat yang belum tentu semua Manusia tahu. Aku tahu citamu adalah demi diriku.”.

Perlindungan dari Atas yang sudah terlindung, memuaikan senandung tentang semua keseharusan dari cita yang terapung, mengembalikan hembusan, tiupan kecil menyemilirkan pucuk tandus mengusik pasir, panas, terlelap sesaat gegap sampai terbangun. Kilatan sesat sekelebat cepat adalah cahaya rapat memadat penat. Mengabulkan harapan yang dahulu tak mapan.

Keberkahan, kenikmatan yang ada tentang lagi alam men-jiwa mengembalikan citra dalam hidup tak lagi binasa. Besar kemungkinan harapan yang ada meski doa telah terpedaya. Kehidupan ini tak lagi biasa, bukan Kumbang selalu terbang, bukan Lebah yang pandai memadu, bukan serangga bisa berhinggap, bukan juga buaya yang selalu mendarat. tetapi seekor Singa dalam kerumunan. Mencoba melawan dalam ujian.

“Aku tahu apa kesedihan?!, aku tahu apa kesakitan?!, aku tahu apa kekecewaan?! bahkan aku tahu apa kesiksaan?!. Tapi ku tak mau ini keberdayaan, besar harapanku kepada Tuhan, bukan besarku harapan pada Manusia. Mengapa?karena ini masalah peletakkan, penempatan harap yang harus dibedakan. Aku sadar ini tersakiti tapi ku tak tersakiti. Ini adalah pengobatan. Pengobatan dari kerusakkan, kebejatan ke-abnormalan hati yang selalu merasuk pada jiwa, raga hingga menjadi penyakit yang mendera.”

“Sebentuk,-secarik kertas hingga sampai akhir halaman akan ku mulai untuk mengisinya. Sebuah awal dari sub-judul tentang pendewasaan hingga kematian yang harus ku ralat sendiri, akan ku tuliskan meski cacat pena diriku. Ini tentang kehidupan yang di dalam penuh pergejolakkan. Kerangka telah ku cipta sejak citaku ada padamu.”

Perbukitan indah tempat bersemayam kedinginan alam telah menghangat, menyatukan kehidupan yang awal mengasik kembali mengusik. Kesegaran ini telah terasakan namun kejanggalan sedang menghampiri. Hujan yang tadi gerimis terdengar semakin mengiris walau awan hitam mulai mengais. Kebasahan hari akan sedikit saja meski hujan kembali menderas.

“Aku tak pandai membuat satu pertanyaan yang memuat beribu jawaban. Aku tak butuh pertanyaan karena aku adalah beribu jawaban.”

“Jika memang semesta tak mengizinkanku, ku baikkan ini adalah cipta dari-Nya, Aku tak setuju jika ini pertanda Hati yang kembali Hidup akan kembali Mati. selemah-lemahnya Hati adalah Ia yang tetap terkendali. Seperti yang telah tertuang dan tuliskan. Pencarian atas kesalah-pembenaran, kelogis-pengegoisan atau bahkan kesalah-pemahaman bukan suatu hal untuk diperdebatkan tetapi bagaimana pendewasaan itu berjalan.”

“Jika memang semesta masih berkesempatan akan terus ku lanjutkan karena citamu adalah hari depanku.”

“Citamu adalah hari depanku…”

“untuk kali kesekian, maafkan aku… maafkan aku…”


23/11/09
Dedicated to my Bird, my Flamingo...

No comments: